Pages

Senin, 03 November 2014

Hujan Part II

Dalam sesaat, gue sempat ngerasa egois karena hujan beberapa hari ini. You know what? Kerjaan gue cuma bisa ngeluh, ngeluh, dan ngeluh.

Hujan bikin suasana hati dan badan guwe ikut-ikutan mati karier. Sabtu dan Minggu rencananya gue mau nyelesein proposal dan beberapa agenda penting yang udah gue masukin ke dalam buku agenda gue. Tapi hujan kali ini bikin gue malas semalas-malasnya. Gue cuma bisa ngeluh dalam hati. Mengeluhkan cucian yang tidak kunjung kering, mengeluhkan jalanan yang becek. Kasihan motor gue yang baru didoorsmeer beberapa hari lalu.

Gue harus bawa motor dengan pelan-pelan banget nyaris mencapai 0 km/jam saat melewati jalanan yang berlobang. Demi apa? yaa demi motor gue agar tidak ter'make-up' kembali lah. Gue berat hati motor gue terjiprat air dari kubangan itu. Gue ngerasa rugi aja gitu kalo harus mendoorsmeer ulang motor gue. *beda tipis antara hemat dan pelit

Belum lagi dengan agenda gue yang harus keluar rumah. Ngerjain proposal yang konon bisa dikerjain di rumah aja gue ogah. Dalam artian, banyak mikir-mikirnya. Apalagi agenda yang harus outdoor. Cailah. Gaya kali gue. Biasanya gue nulis sesuatu pakek sapaan aku atau saya. Tapi karena kali ini suasana hati gue sedang bagus, jadinya gue pengen pakek gue aja. No protest! No protest! *Sambil runcingin alis mata dan goyang-goyangin jari telunjuk

Hmm, salah satu agenda wajib gue yaitu ngajar di sebuah bimbel ternama. Phibeta. Cari tau kalo pada belum tau. Karena gue harus ngajar, gue ngerasa malas banget keluar rumah kudu pakek "mobil" segala. Eh, mobil? Keren banget gue. Tenang. Itu mobil maksudnya mantel. Atau dalam bahasa Jepangnya biasanya mereka sering sebutnya jas hujan geto. Kalo gue lebih seneng nyebutnya mobil. Lebih menggembirakan hati.

Tapi apalah daya, gue tetep, kudu, wajib menjalankan kewajiban gue. Sebisa mungkin gue harus melawan gaya gravitasi bumi yang bersemayam di tempat tidur. Hujan-hujan gini paling asik buat malas-malasan kalo jadi gue. Tidur, makan, pantengin laptop, sambil sesekali melirik ke luar jendela dan mengeluarkan kalimat stagnan yang becokol dalam hati, “Kapan hujan ini akan berhenti?”. Gue seneng berbicara sendiri kalo udah gini.

Dulunya gue suka hujan. Sekarang suka juga sih. Tapi bedanya, dulu gue bisa melakukan banyak hal menyenangkan. Dulu itu kira-kira 15 tahun yang lalu. Gue bisa mandi hujan sambil bershampo ria ala model shampo di bawah geraian hujan. Tapi sekarang, gue malu melakukan hal bodoh itu. Hmm, sekarang aja bilangnya bodoh. Dulu? Ngesot-ngesot minta izin mandi hujan. hihihi *nyengir bego'

Tadinya gue ke kampus karena sebuah janji. Karena janji, gue bela-belain pakek "mobil". Karena janji, sebenarnya gue belum rela ngeluarin motor gue karena takut kena becek lagi, tapi dengan sedikit terpaksa harus gue keluarin. Karena janji, gue harus lari-larian dengan pakek "mobil" dan helm sampai ke depan pintu sekret himpunan gue di kampus. Karena janji, gue ngerasa jadi model geto gara-gara lari-larian tadi sambil makek "mobil". Mungkin perasaan gue aja kali yak. Gue perasa banget sih. Haft. Karena sebuah janji, gue berasa heroik sendiri pagi ini. Bisa menembus hujan dan mengalahkan gaya gravitasi tadi wak.

Gue menikmati mandi hujan tadi. Karena ada "mobil", gue ngerasa sedikit aman. Paling gak, gue sadar, begitu nyampek rumah gue gak akan basah kuyup. Bermodalkan "mobil", gue gak harus balap-balap karena takut basah. Punya mobil dengan tanda kutip aja udah cukup buat gue senang dan membantu gue, apalagi kalau punya mobil tanpa tanda kutip. Eh?

Banyak kejadian yang tiba-tiba melintas di pikiran gue. Gue jadi teringat masa kecil gue yang melakukan hal bodoh tadi. Namun bukan disitu poinnya. Gue jadi lebih bersyukur dengan kehidupan gue. Gue ngerasa bersalah tadinya suka mengeluhkan hal-hal yang tidak begitu penting.

Lihatlah, betapa ada kejadian yang lebih miris ketimbang hanya mengeluhkan cucian yang tidak kunjung kering. Terlihat kakek tua yang mengamankan jualannya agar tidak terkena hujan. Bisa dibayangkan apa yang dia peroleh selama hujan, lalu jualannya tak kunjung laku.

Anak muda berlarian menuju bangku sekolah. Sungguh mulia niat menuntut ilmu itu. Bahkan, tak memiliki kendaraan pun tak menyurutkan langkah kaki kecil itu melangkah.

Plak! gue berasa tertampar. Gue yang tadi-tadinya malas-malasan disuguhkan pemandangan luar biasa ini.

Belum lagi dengan kabar beberapa daerah di Aceh telah amblas akibat terus diguyur hujan. Banjir di sejumlah titik. Kok bisa-bisanya gue mengeluhkan jemuran di saat lokasi rumah gue masih dalam kondisi aman terkendali.

Memang kita tidak tahu apa rencanaNya. Boleh jadi hujan membawa berkah bagi kita, karena dosen tiba-tiba tidak datang, dan ujian dibatalkan. Berkah karena sebelumnya kita tidak belajar dengan maksimal. Lalu kita bersorak gembira tak tertahankan. Namun di saat yang sama, sebuah keluarga meringis kedinginan karena atap rumah yang bocor. Kontras sekali.

Rasulullah saw telah mengajarkan adab dalam tertawa. Sekedarnya saja. 

Aisyah meriwayatkan, dia berkata, “Tidak pernah sekalipun aku melihat Rasulullah saw ketawa terbahak-bahak sehingga kelihatan kerongkongannya. Akan tetapi, ketawa baginda adalah dengan tersenyum.” ( HR. Al-Bukhari no. 8217)

Bagi sebagian kita, mungkin tertawa lepas akan menenangkan hati. Berasa beban yang buat urat saraf menegang ngacir gitu aja. Gue juga gitu. Tapi tidak merugi jika kita mencoba meneladani Rasul. Mencoba menjadikan hari-hari kita lebih dekat dengan penebar senyum ini melalui kebiasaan-kebiasaan kita.

Sehabis mandi hujan, jadi juga 1 tulisan. Awalnya mau dijadiin status, eeh kepanjangan. Akhirnya ianya gue jadiin note aja deh. 

"Allahummaj'alha rahmatan wa la taj'alha 'adzaban..waghfir lana ya rabbal 'alamin..".
 Ya Allah jadikanlah hujan ini rahmat (kepada kami), dan jangan jadikan hujan ini 'adzab dan ampuni dosa kami..

0 komentar:

Posting Komentar