Pages

Selasa, 26 Desember 2017

Satu Pesan Ayah

Di tengah kegaduhan ibu kota dengan beragam beritanya, seorang ayah mengajak anaknya untuk menikmati hari liburnya setelah ujian panjang di sekolah yang begitu penat.
“Ayah, mengapa air ini tampak begitu tenang? Tak seperti air laut yang berombak?”, tanya anak itu keheranan. Seminggu sebelum ujian, ayahnya mengajaknya untuk mengamati laut. Tak tahu persis apa yang mereka lakukan selain hanya duduk mengamati pantai dan lautnya.
“Bersyukurlah, Nak, Tuhan masih berbaik hati menciptakan suasana yang mampu menawarkan ketenangan."
“Aku tidak mengerti, Ayah”, sahutnya setelah berpikir sejenak. Gesture tubuhnya berubah-ubah, dimulai dari mengernyitkan dahi, tumpang dagu, mendongak ke arah ayah, hingga kembali menumpang dagu, meniru sang ayah.
Selaksa pertanyaan muncul di kepala Umar kecil, apa maksud ayah kali ini? Tapi melihat ketenangan air, ia pun membisu, memilih menunggu ayah memberi jawaban dan menikmati pemandangan.
“Dalam hidup, kamu akan menemukan dua tipe manusia. Berani dan ganas seperti air laut, namun dalam perjalanannya, ia pecah menjadi buih, atau bahkan tenang seperti danau ini, tak jelas seberapa dalam ianya, namun tak begitu mengherankan jika air setenang ini mampu menghanyutkan.”
“Jangan heran”, sambung ayah sembari menatap danau lekat-lekat, “jika suatu waktu kamu menjumpai orang yang mengaku diri cerdik pandai, padahal nyatanya kusut masai. Berdiskusi layaknya ahli, padahal hasil googling sana sini.”
Ayah merubah posisi duduknya, kedua lututnya diangkat, menyatu sebagai penopang dagu. “Baiklah, anggap saja mereka memang dianugerahi kelebihan dalam beberapa disiplin ilmu, hingga banyak pahamnya. Tapi banyak paham saja tidak cukup jika nyatanya sedikit membaca, ogah mengkaji dan mengaji, dan malas berguru. Hal ini diperparah jika menganggap diri paling benar. Ibarat penyakit, sifat ini telah mencapai stadium akhir, kronis, sekaligus kompilasi. Komplit!”
Ayah menjelaskan penuh semangat, lupa dengan kenyataan bahwa Umar hanyalah anak-anak. Yang mendengar hanya bisa ber-’oh ya?’. Mencoba mencerna setiap untaian kata ayah yang menjelma bagaikan rumusan dalam matematika.
Menyadari perubahan raut wajah Umar, ayah mencoba menyederhanakan kalimatnya. “Kamu tak perlu terlihat pintar agar dipuji. Dengarkan apapun yang orang katakan meski sebenarnya kamu telah mengetahuinya. Jangan sekali-kali bersikap sok pintar dengan menyela dan mengatakan, ‘iya, saya sudah tahu’. Karena apapun yang mereka katakan, percayalah, ada sesuatu yang berbeda dari yang telah kita ketahui sebelumnya. Karena saat kita mengatakan saya sudah tahu, sejatinya kita telah menahan masuknya sebuah ilmu.”
“Hmmm.. tapi aku masih belum paham, Ayah.”
Ayah membentuk lengkungan di bibirnya. “Maafkan Ayah, Nak. Ayah pikir tadi sedang berbicara dengan ibumu. Hehehe.. Aroma ikan bakar pedagang sebelah mengingatkan ayah terhadap ibu”, ayah kembali membentuk lengkungan di bibirnya. Kali ini lebih lebar.
“Kamu hanya perlu mengingat pesan Ayah, Umar. Seiring waktu, kamu akan menemukan jawaban atas ketidakpahaman ini. Sepertinya menu hari ini akan enak. Ayo kita jumpai ibu.”
Tanpa meminta persetujuan Umar, ayah telah bangkit dan melangkah menuju rumah tempat mereka merenda kehidupan. Kali ini lengkungan di bibirnya tak kalah lebar. Entah apa yang dipikirkannya. ^^

sumber photo: dokumen pribadi

0 komentar:

Posting Komentar