Pages

Sabtu, 27 Desember 2014

Pejuang Subuh

Ada yang hadir untuk dikenang. Ada yang hadir untuk melengkapi hidup. Ada yang hadir untuk menjadi teman berbincang. Ada pula yang hadir hanya sekedar hadir, kemudian dilupakan.

Demikian hidup. Kita cukup memilih ingin hadir sebagai apa, dan ingin dikenang seperti apa. Jikalau boleh, maka tidak ada yang memilih untuk menjalani hidup yang kemudian dilupakan.

Sebut saja namanya Somat. Kini telah memiliki tiga anak dari seorang istri dari kampung kelahirannya. Masa mudanya dihabiskan seperti laki-laki pada umumnya. Bermain bola di lapangan, main hujan di sawah, sekolah, dan mengaji. Tidak ada yang begitu spesial dari diri Somat. Pun, ia bukan tipe laki-laki yang digandrungi para wanita. Terbukti, seumur hidup, ia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita, terlebih pacaran.

Santun bahasanya, bijak kata-katanya, membuat siapapun yang berbincang dengannya akan betah berlama-lama. Siapa sangka pribadi yang sederhana ini begitu dikenang oleh seorang ibu kost, tempat dulu ia pernah menjadi anak kostnya.

Terkenang oleh ibu kost suatu ketika, “Setiap subuh Somat selalu berjalan kaki menuju meunasah dan mengumandangkan adzan disana.”

Ternyata ini rahasianya. Jarak meunasah dan kost-an Somat tidaklah jauh. Maka ia bisa menuju kesana hanya dengan bermodalkan sepasang sandal jepit. Setiap subuh ia menghidupkan meunasah dengan lantunan suara adzannya yang begitu syahdu.

Tak banyak anak muda yang dekat dengan mesjid dan bersedia mengumandangkan adzan tiap subuh. Karena itu sama artinya, setiap subuh ia harus rela dibalut dinginnya suasana subuh dan melangkahkan kaki menuju meunasah. Namun, Somat bisa menjalani rutinitas ini dengan senang hati. Setiap subuh dia mengemban amanah untuk menghidupkan meunasah. Satu hal sederhana yang dilakukan namun memberi efek yang luar biasa bagi peradaban.  Bayangkan, jika seluruh pemuda dalam satu kampung begitu ringan langkahnya menuju mesjid, meunasah, atau mushalla, maka semakin iri dan takutlah kaum Yahudi. Konon katanya, kaum Yahudi sedang gencar-gencarnya mencanangkan program agar pemuda muslim jauh dari mesjid dan alquran.

Tak heran pula, banyak pemuda yang kini telah menjadi bapak-bapak yang selalu menanyakan kabar Somat manakala suatu ketika bersilaturrahmi ke rumah ibu kost. Mereka rindu akan masa-masa berjuang bangun di pagi subuh. Menjadi pejuang subuh untuk menghidupkan meunasah kompleks tempat mereka dulu menetap sebagai mahasiswa.


Tak perlu melakukan hal besar untuk mengubah dunia. Cukup mulai dari diri sendiri untuk melakukan hal sederhana, namun berefek besar. Dengan sendirinya, dunia akan mengikutimu. 

0 komentar:

Posting Komentar