Ada
yang hadir untuk dikenang. Ada yang hadir untuk melengkapi hidup. Ada yang
hadir untuk menjadi teman berbincang. Ada pula yang hadir hanya sekedar hadir, kemudian
dilupakan.
Demikian
hidup. Kita cukup memilih ingin hadir sebagai apa, dan ingin dikenang seperti
apa. Jikalau boleh, maka tidak ada yang memilih untuk menjalani hidup yang
kemudian dilupakan.
Sebut
saja namanya Somat. Kini telah memiliki tiga anak dari seorang istri dari
kampung kelahirannya. Masa mudanya dihabiskan seperti laki-laki pada umumnya.
Bermain bola di lapangan, main hujan di sawah, sekolah, dan mengaji. Tidak ada
yang begitu spesial dari diri Somat. Pun, ia bukan tipe laki-laki yang
digandrungi para wanita. Terbukti, seumur hidup, ia tidak pernah terlihat dekat
dengan seorang wanita, terlebih pacaran.
Santun
bahasanya, bijak kata-katanya, membuat siapapun yang berbincang dengannya akan
betah berlama-lama. Siapa sangka pribadi yang sederhana ini begitu dikenang
oleh seorang ibu kost, tempat dulu ia pernah menjadi anak kostnya.
Terkenang
oleh ibu kost suatu ketika, “Setiap
subuh Somat selalu berjalan kaki menuju meunasah dan mengumandangkan adzan
disana.”
Ternyata
ini rahasianya. Jarak meunasah dan kost-an Somat tidaklah jauh. Maka ia bisa
menuju kesana hanya dengan bermodalkan sepasang sandal jepit. Setiap subuh ia
menghidupkan meunasah dengan lantunan suara adzannya yang begitu syahdu.
Tak
banyak anak muda yang dekat dengan mesjid dan bersedia mengumandangkan adzan
tiap subuh. Karena itu sama artinya, setiap subuh ia harus rela dibalut
dinginnya suasana subuh dan melangkahkan kaki menuju meunasah. Namun, Somat
bisa menjalani rutinitas ini dengan senang hati. Setiap subuh dia mengemban
amanah untuk menghidupkan meunasah. Satu hal sederhana yang dilakukan namun
memberi efek yang luar biasa bagi peradaban.
Bayangkan, jika seluruh pemuda dalam satu kampung begitu ringan
langkahnya menuju mesjid, meunasah, atau mushalla, maka semakin iri dan
takutlah kaum Yahudi. Konon katanya, kaum Yahudi sedang gencar-gencarnya
mencanangkan program agar pemuda muslim jauh dari mesjid dan alquran.
Tak
heran pula, banyak pemuda yang kini telah menjadi bapak-bapak yang selalu
menanyakan kabar Somat manakala suatu ketika bersilaturrahmi ke rumah ibu kost.
Mereka rindu akan masa-masa berjuang bangun di pagi subuh. Menjadi pejuang
subuh untuk menghidupkan meunasah kompleks tempat mereka dulu menetap sebagai
mahasiswa.
Tak
perlu melakukan hal besar untuk mengubah dunia. Cukup mulai dari diri sendiri
untuk melakukan hal sederhana, namun berefek besar. Dengan sendirinya, dunia
akan mengikutimu.
0 komentar:
Posting Komentar