Pages

Sabtu, 27 Desember 2014

Catatan Hati Seorang Sarjana

“Mau jadi apa kamu?”, Ayah menaikkan volume suaranya, “Jika kerjaanmu selalu tidur tengah malam, bangun kesiangan. Lihat si Afdhal, anaknya Pak Rahmat, sudah jadi anak gedongan dia sekarang, punya mobil mewah pula. Lha, kamu?”, Ayah menghentikan ucapannya. Takut-takut salah ucap. Sementara ibu, jengah dan hanya mengelus-ngelus dada, terlihat kelelahan. Saban hari seisi rumah ribut hanya karena persoalan aku yang sampai saat ini masih menjadi pengangguran.

Ya, pengangguran. Label yang melekat bagi seorang sarjana pendidikan seperti aku. Dari segi akademik, sebenarnya aku termasuk mahasiswa yang cukup pintar dan jarang mendapatkan nilai di bawah standar. Itu yang aku tau dari teman-teman seperjuanganku. Terbukti dengan hasil kredit semesterku yang selalu melewati batas 3,5. Predikat cumlaude pun ku raih. Ayah dan ibu begitu bangga melihatku memakai baju toga saat itu. Buliran bening menghinggapi sudut mata ayah. Memang, ayah yang begitu menggebu-gebu menyarankan ku untuk meneruskan studi di fakultas pendidikan. Menyambung cita-citanya menjadi guru yang tidak kesampaian. Sementara ibu, ibu adalah sosok wanita yang selalu mendukung setiap pilihan yang aku ambil. Kebahagiaanku, kebahagiaannya pula.

Seperti kebanyakan ibu-ibu lainnya, aku pun diperlakukan spesial oleh ibu. Tidak hanya ibu. Kedatanganku balik ke kampung, disambut spesial oleh sanak saudara dan kerabat. Senang sekali rasanya, saat tiba di kampung, ayah begitu bersemangat menampakkan ijazahku pada saudara-saudara yang berkunjung ke rumah. Maklum, dari kampung tempatku dibesarkan, akulah sarjana pertama. Tak heran, penduduk kampung begitu mengelu-elukan namaku. Bak superstar yang masuk ke kampung. Namaku pun tersiar hingga ke kampung sebelah. Sehari setelah diwisuda, seperti kebanyakan orang, aku pun ditanyai, “Sudah dapat tawaran kerja dimana? Sudah daftar CPNS belum?”

Aku bukan tipe orang yang suka berbasa-basi. Jadi ku jawab saja sekenanya. Hari pertama pasca penobatanku sebagai sarjana, ku lalui dengan santai. “Ah, akhirnya aku terbebas dari penjara pendidikan itu!”, pekikku dalam hati.

Sebulan pertama di kampung kuhabisi untuk bermain dengan sepupu-sepupuku. Mengujungi sanak saudara yang telah lama tak bertegur sapa. Perbincangan semakin hangat manakala ayah ikut mendominasi perbincangan. Dan, bisa ditebak, ayah kembali mengagung-agungkanku. Oh, indahnya dunia.


Anak mana yang tak terharu manakala hasil kerja kerasnya bisa menaikkan harkat dan martabat keluarga. Keluargaku pun kena imbas tenarnya. Menjadi perbincangan dalam kalangan ibu-ibu. Terlebih saat membeli sayur-sayur pada pedagang keliling. 

0 komentar:

Posting Komentar