“Mau jadi apa
kamu?”, Ayah menaikkan volume suaranya, “Jika kerjaanmu selalu tidur tengah
malam, bangun kesiangan. Lihat si Afdhal, anaknya Pak Rahmat, sudah jadi anak
gedongan dia sekarang, punya mobil mewah pula. Lha, kamu?”, Ayah menghentikan
ucapannya. Takut-takut salah ucap. Sementara ibu, jengah dan hanya
mengelus-ngelus dada, terlihat kelelahan. Saban hari seisi rumah ribut hanya
karena persoalan aku yang sampai saat ini masih menjadi pengangguran.
Ya,
pengangguran. Label yang melekat bagi seorang sarjana pendidikan seperti aku.
Dari segi akademik, sebenarnya aku termasuk mahasiswa yang cukup pintar dan
jarang mendapatkan nilai di bawah standar. Itu yang aku tau dari teman-teman
seperjuanganku. Terbukti dengan hasil kredit semesterku yang selalu melewati
batas 3,5. Predikat cumlaude pun ku raih. Ayah dan ibu begitu bangga melihatku
memakai baju toga saat itu. Buliran bening menghinggapi sudut mata ayah.
Memang, ayah yang begitu menggebu-gebu menyarankan ku untuk meneruskan studi di
fakultas pendidikan. Menyambung cita-citanya menjadi guru yang tidak
kesampaian. Sementara ibu,
ibu adalah sosok wanita yang selalu mendukung setiap pilihan yang aku ambil.
Kebahagiaanku, kebahagiaannya pula.
Seperti
kebanyakan ibu-ibu lainnya, aku pun diperlakukan spesial oleh ibu. Tidak hanya
ibu. Kedatanganku balik ke kampung, disambut spesial oleh sanak saudara dan
kerabat. Senang sekali rasanya, saat tiba di kampung, ayah begitu bersemangat
menampakkan ijazahku pada saudara-saudara yang berkunjung ke rumah. Maklum, dari
kampung tempatku dibesarkan, akulah sarjana pertama. Tak heran, penduduk
kampung begitu mengelu-elukan namaku. Bak superstar yang masuk ke
kampung. Namaku pun tersiar hingga ke kampung sebelah. Sehari setelah diwisuda,
seperti kebanyakan orang, aku pun ditanyai, “Sudah dapat tawaran kerja dimana? Sudah
daftar CPNS belum?”
Aku bukan tipe
orang yang suka berbasa-basi. Jadi ku jawab saja sekenanya. Hari pertama pasca
penobatanku sebagai sarjana, ku lalui dengan santai. “Ah, akhirnya aku terbebas
dari penjara pendidikan itu!”, pekikku dalam hati.
Sebulan pertama
di kampung kuhabisi untuk bermain dengan sepupu-sepupuku. Mengujungi sanak
saudara yang telah lama tak bertegur sapa. Perbincangan semakin hangat manakala
ayah ikut mendominasi perbincangan. Dan, bisa ditebak, ayah kembali
mengagung-agungkanku. Oh, indahnya dunia.
Anak mana yang
tak terharu manakala hasil kerja kerasnya bisa menaikkan harkat dan martabat
keluarga. Keluargaku pun kena imbas tenarnya. Menjadi perbincangan dalam
kalangan ibu-ibu. Terlebih saat membeli sayur-sayur pada pedagang keliling.
0 komentar:
Posting Komentar