Pages

Rabu, 01 Januari 2014

Muhasabah Pergantian Tahun


Sebuah kekeliruan dalam perayaan tahun baru

 Tahun baru boleh jadi merupakan awal pijakan insan-insan dalam menjalani hidup agar menjadi lebih hidup. Sebuah batu loncatan untuk membuat janji-janji kehidupan yang lebih baik. Mendaftar target-target baru yang ingin dicapai atau melanjutkan target yang belum tercapai pada tahun sebelumnya.

 Tak jarang kita terlalu berlebihan menyikapi tahun baru. Satunya sibuk dengan perayaan megah nan mubazir. Perayaan kembang api dan peniupan terompet yang dinilai jauh dari kesan islami kerap menyambangi detik-detik pergantian tahun baru. Yang satunya malah asik mencibir pelaku penghambur-hamburan harta itu.

Aku tidak mengatakan kamu atau kalian. Aku mengatakan kita. Karena aku sadar, aku juga tidak lebih baik dari kalian. Kita terlalu naif untuk persoalan ini. Menilai satu sama lain dengan cara yang berbeda. Mencibir satu sama lain dengan cibiran luar biasa. Seolah-olah kitalah yang paling benar. Padahal mencibir satu sama lain, secara tidak langsung kita menunjukkan bahwa kita tidak lebih baik dari mereka yang kita cibir.

Berkatalah yang baik atau diam

Ya, kita sebagai makhluk Allah memang diberikan kelebihan daripada makhluk Allah yang lain, yakni diberi akal untuk berpikir dan banyak sekali nikmat lainnya, termasuk nikmat berbicara.

Kenapa dari perbincangan tahun baru malah melenceng ke nikmat berbicara?

Nah, ini dia persoalannya teman. Saking asiknya kita berbicara, kita tak sadar, terkadang kita cenderung salah menggunakan nikmat yang satu ini. Senang sekali membongkar aib dan mencari-cari kesalahan orang lain. Tak sadar, terkadang, ucapan dan tindakan kita menyakiti hati saudara kita. Demikianlah, lidah seseorang itu sangat berbahaya sehingga dapat mendatangkan banyak kesalahan.

Aku jadi teringat sebuah kisah. Mungkin kalian sudah pernah mendengar atau membacanya. Tapi apa salahnya aku berbagi sedikit kisah yang bagiku, kisah ini bisa kita jadikan pedoman bersama untuk berkata yang baik atau diam. Kira-kira seperti ini ceritanya:

Tersebutlah sebuah keluarga. Dan kisahnya berawal dari sini. Keluarga kecil yang memiliki anak laki- laki yang menjadi topik pembicaraan kita. Sebut saja namanya Ahmad. Bocah mungil ini sedang asyik bermain-main di tanah. Iseng, dia menggenggam tanah dan berlarian ke dapur. Sementara ibunya sedang menyiapkan makan untuk para tamu. Ketika ibu lengah, Ahmad malah menaburkan debu ke atas makanan yang telah disajikan.
Saat ibu melihat adegan panas itu (buat hati panas maksudnya), sontak beliau marah dan berkata: “Idzhab ja’alakallahu imaaman lilharamain”. Yang artinya: “Pergi kamu! Biar kamu jadi imam di Haramain!”

Dan SubhanAllah, kini anak itu telah dewasa dan telah menjadi imam di masjidil Haram! Tahukah kalian, siapa anak kecil yang di doakan ibunya saat marah itu? Anak kecil yang tadinya kita sebut namanya sebagai Ahmad itu. Tidak, dia bukan Ahmad. Sekali lagi, anak kecil itu bukan Ahmad. Itu hanya nama samaran. Beliau adalah Syeikh Abdurrahman as-Sudais, Imam Masjidil Haram yang nada tartilnya menjadi favorit kebanyakan kaum muslimin di seluruh dunia. 

Dahsyatnya kekuatan doa seorang Ibu yang bermula dari perkataan yang baik.

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (Muttafaq ‘Alaihi).

Lalu dalam hadist lain disebutkan: “Allah memberi rahmat kepada orang yang berkata baik lalu mendapat keuntungan, atau diam lalu mendapatkan keselamatan.” (HR Ibnul Mubarak).

Jadi, intinya, sebelum kita menilai orang lain, nilailah diri sendiri, sudah lebih baikkah kita dari orang yang kita nilai?

Di Balik Tirai Tahun Baru

Perayaan tahun baru yang megah nan mubazir. Kembang api dan terompet gencar dicari. Nikmat duniawi. Menjadikan diri layaknya selebriti. Sibuk sana sini hingga dini hari. Tapi, apalah arti kemegahan ini.

Ya, apalah arti kemegahan ini. Toh di hari berikutnya kita masih menjalani rutinitas yang tidak lebih baik dari tahun sebelumnya. Bangun pagi masih suka kesiangan. Solat masih sesuka hati, kapan ada waktu. Masya Allah. Maksiat hampir setiap hari. Wew. Kewajiban tertunda. Melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat atau bahkan nyaris tidak bermanfaat. Lha, apa bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya jika sudah seperti ini.

Nah, mari kita tilik kembali esensi dari makna pergantian tahun ini. (Jangan tanya esensi itu apaan. Karena aku juga gak tau. Keren-kerenan aja). Sejatinya, pergantian tahun merupakan momen yang paling pas untuk kita berbenah diri. Tolong dicatat, tidak hanya awal tahun, trus ke depan nya masih gitu-gitu aja, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak. Sama sekali tidak. Tolong ya, dicatat.

Boleh jadi, momentum awal tahun baru ini kita jadikan ajang bermuhasabah ria. Flashback rekaman setahun yang lalu. Apa perubahan dalam diri kita? Sudahkah kita menjadi pribadi lebih baik? Apa saja daftar target yang telah kita list-kan tahun lalu dan terealisasi dan mana pula yang tidak? Apa kabar iman kita tahun ini? Tahun sebelumnya? Dan tahun sebelum sebelumnya? Semakin meningkat, ataukah malah jauh terperosok dan terseok-seok dalam lembah kesombongan? Merasa diri tidak butuh Tuhan?

Pergunakan momen awal tahun baru ini untuk memutar ulang rekaman setahun lepas itu. Kita gunakan untuk bermuhasabah. Daftarkan kembali rencana hidup kita ke depan dengan harapan-harapan setinggi langit. Makanya ada ungkapan, “Bercita-citalah setinggi langit”. Karena apa? Boleh jadi, saat proses terbang menuju langit, jalan kita tidak semulus jalan tol, ada kalanya kita melewati jalanan terjal penuh bebatuan dan kerikil, lalu kita terjatuh dan tersungkur. Saat kita terjatuh, kita gak langsung jatuh ke tanah. Paling tidak, nyangkut deh tu di loteng rumah, atau pohon tua rumah sebelah. Hehe. (Aku juga gak paham ngomong apaan). Udah gitu aja. Sekian.



0 komentar:

Posting Komentar