Namaku...
Ah, tak begitu penting siapa aku. Kalau pun kuceritakan sosokku, kau pasti akan
merasa duniamu berputar membayangkannya. Hanya saja, keherananku kian merangkak
naik manakala orang-orang senang menceritakan apa saja yang berkaitan denganku.
Pasalnya, kehadiranku tak begitu diharapkan. Namun jika tak menceritakanku,
rasa-rasanya seperti ada yang hilang. Tak ubahnya kurang sedap sarapan pagi
tanpa ada suguhan kopi.
Banyak
yang mengingatkan untuk lupakan sajalah aku. Aku ini tak bernilai. Bahkan
terlalu mulia untuk dikatakan berharga. Sehina-hinanya kotoran, aku jauh merangsek
ke level paling bawah. Begitu buruknya keadaanku hingga Rasulullah saw pernah
memperingatkan istrinya, Aisyah, dengan nada yang agak keras saat membincangkan
hal yang berkaitan denganku. Sosok paling mulia saja sangat membenciku.
Orang-orang
telah begitu hafal yang bahwa tak pentingnya aku ini. Ah, tapi pesonaku telah begitu
memukau. Sihirnya sangatlah menawan hingga orang-orang tak bisa begitu saja
mengabaikanku.
Bukannya
sombong, hanya saja aku kerap merasa kegeeran sendiri. Aku tak melakukan
apa-apa, tapi sosokku sangat berdampak bagi kehidupan manusia. Aku sering
nimbrung di segerombolan orang-orang. Meski bukan sosok yang populer, tapi aku
rasa tak ada yang tak mengenaliku. Aku mulai merambah ke dunia warung kopinya
anak muda, ibu-ibu gemes doyan cerita, elit politik, bahkan jurnalisme infotainment.
Sebut
namaku tiga kali, eh, bukan. Maksudku, sebut saja beberapa keyword yang buruk,
maka mereka layaknya terkena sindrom efek domino. Sebuah sentilan kecil mampu
menjatuhkan ratusan domino yang telah tersusun rapi. Mereka secara sadar atau
tidak, akan saling mempengaruhi dan dengan begitu antusias memamerkan
kebebalannya dalam berbicara.
Siapa
aku?
Suatu
hari seorang Ayah pernah menanyakan sebuah soalan yang dianggap sangat biasa
oleh ketiga anaknya.
Kepada si
A, Ayah bertanya, “Apa yang terakhir kali kamu makan?”
Dengan
sedikit mengernyitkan alis, si A menjawab, “Makan nasi, ikan, dan sayur. Hmmm..
Kan sahurnya itu tadi pagi.”
“Kamu?”,
Ayah menoleh ke si B.
“Sama.
Saya juga makan nasi dan ikan, tapi gak pakai sayur. Kenapa, Yah?”, Tanya si B.
Tanpa
mempedulikan tanya si B, Ayah memandang si C yang siap-siap membuka suara.
“Bagaimana dengan kamu?”, tanya Ayah.
“Saya sama
dengan A, Yah. Makan nasi, ikan, dan sayur. Kita juga sama-sama minum teh pagi
tadi.”
Mereka
bertiga saling melempar senyum, berbisik, disertai tawa-tawa kecil mencoba
menerka-nerka kemana arah pertanyaan Ayah kali ini.
Dengan
tenang Ayah mencoba menjelaskan, “Baiklah anak-anakku. Kita selalu
memperhatikan apa yang masuk ke dalam perut kita. Tapi kita lupa memperhatikan
apa yang keluar di antara kedua rahang kita. Tidak ada yang salah dengan
jawaban kalian. Hanya saja Ayah yang keliru bertanya. Bagaimana kalau Ayah ubah
pertanyaannya menjadi ‘Kapan terakhir kali kalian memakan bangkai saudara
kalian sendiri yang dipenuhi ulat? Na’udzubillaahi min dzaalik.’”
Sontak
ketiganya saling memandang. Kali ini tak lagi disertai senyuman. Hening.
0 komentar:
Posting Komentar