Pages

Senin, 18 Juli 2016

Siapa Aku?



Namaku... Ah, tak begitu penting siapa aku. Kalau pun kuceritakan sosokku, kau pasti akan merasa duniamu berputar membayangkannya. Hanya saja, keherananku kian merangkak naik manakala orang-orang senang menceritakan apa saja yang berkaitan denganku. Pasalnya, kehadiranku tak begitu diharapkan. Namun jika tak menceritakanku, rasa-rasanya seperti ada yang hilang. Tak ubahnya kurang sedap sarapan pagi tanpa ada suguhan kopi. 

Banyak yang mengingatkan untuk lupakan sajalah aku. Aku ini tak bernilai. Bahkan terlalu mulia untuk dikatakan berharga. Sehina-hinanya kotoran, aku jauh merangsek ke level paling bawah. Begitu buruknya keadaanku hingga Rasulullah saw pernah memperingatkan istrinya, Aisyah, dengan nada yang agak keras saat membincangkan hal yang berkaitan denganku. Sosok paling mulia saja sangat membenciku. 

Orang-orang telah begitu hafal yang bahwa tak pentingnya aku ini. Ah, tapi pesonaku telah begitu memukau. Sihirnya sangatlah menawan hingga orang-orang tak bisa begitu saja mengabaikanku.

Bukannya sombong, hanya saja aku kerap merasa kegeeran sendiri. Aku tak melakukan apa-apa, tapi sosokku sangat berdampak bagi kehidupan manusia. Aku sering nimbrung di segerombolan orang-orang. Meski bukan sosok yang populer, tapi aku rasa tak ada yang tak mengenaliku. Aku mulai merambah ke dunia warung kopinya anak muda, ibu-ibu gemes doyan cerita, elit politik, bahkan jurnalisme infotainment. 

Sebut namaku tiga kali, eh, bukan. Maksudku, sebut saja beberapa keyword yang buruk, maka mereka layaknya terkena sindrom efek domino. Sebuah sentilan kecil mampu menjatuhkan ratusan domino yang telah tersusun rapi. Mereka secara sadar atau tidak, akan saling mempengaruhi dan dengan begitu antusias memamerkan kebebalannya dalam berbicara. 

Siapa aku? 

Suatu hari seorang Ayah pernah menanyakan sebuah soalan yang dianggap sangat biasa oleh ketiga anaknya. 

Kepada si A, Ayah bertanya, “Apa yang terakhir kali kamu makan?”

Dengan sedikit mengernyitkan alis, si A menjawab, “Makan nasi, ikan, dan sayur. Hmmm.. Kan sahurnya itu tadi pagi.”

“Kamu?”, Ayah menoleh ke si B.

“Sama. Saya juga makan nasi dan ikan, tapi gak pakai sayur. Kenapa, Yah?”, Tanya si B.

Tanpa mempedulikan tanya si B, Ayah memandang si C yang siap-siap membuka suara.

“Bagaimana dengan kamu?”, tanya Ayah.

“Saya sama dengan A, Yah. Makan nasi, ikan, dan sayur. Kita juga sama-sama minum teh pagi tadi.”

Mereka bertiga saling melempar senyum, berbisik, disertai tawa-tawa kecil mencoba menerka-nerka kemana arah pertanyaan Ayah kali ini.

Dengan tenang Ayah mencoba menjelaskan, “Baiklah anak-anakku. Kita selalu memperhatikan apa yang masuk ke dalam perut kita. Tapi kita lupa memperhatikan apa yang keluar di antara kedua rahang kita. Tidak ada yang salah dengan jawaban kalian. Hanya saja Ayah yang keliru bertanya. Bagaimana kalau Ayah ubah pertanyaannya menjadi ‘Kapan terakhir kali kalian memakan bangkai saudara kalian sendiri yang dipenuhi ulat? Na’udzubillaahi min dzaalik.’”

Sontak ketiganya saling memandang. Kali ini tak lagi disertai senyuman. Hening.

0 komentar:

Posting Komentar