Pages

Senin, 24 Februari 2014

Pajoh Bu Molod


Tinit tiniiittt, bunyi sms masuk.

“Assalamu’alaikum teman-teman, hari Minggu (23/02) datang ke rumah kami ya. Ada acara maulid. Tq. Ditunggu kedatangannya.”

Ah, Novia, syukurlah. Hampir saja aku mengabaikan bunyi sms itu, karena ku kira pesan dari Telkomsel. Wkwkwkwk. Aha. Maulid. Biasanya ada makan-makannya gitu kan? Asiiikk. *senyum bandit

“Eh, tunggu tunggu, Minggu (23/02), berarti Minggu ini?”, batinku sambil mengecek sms dari Kemal beberapa hari yang lalu.

“Jangan lupa datang ke rumah ya, ada acara maulid. Tolong bilang sama Amri, Teguh, Sinta, Helka, dan Fira. Pada tanggal 23 bulan 2. Jangan lupa datang ke rumah ibuk dari Kak Deni Kampung Blang.”

(Sekilas info, Kak Deni adalah anak keduanya Ibu War, ibu angkat kami selama KKN. Oke, disimpan dulu ya infonya. Karena akan banyak tokoh yang akan hadir di cerita yang apalah episode kali ini)

Waduh, ternyata tanggalnya sama. Kenapa gak ini yang hari Sabtu, trus yang itu hari Minggunya. Intinya di hari yang beda aja deh. Bukankah itu sangat membantu? Perkenalkan, anak kost yang paling keren yang selalu menunggu sms-sms seperti ini. Walah. Tapi siapalah aku sampai harus merengek-rengek meminta harinya digeser. Baik, aku terima saja. Kan kata nenek, gak baik nolak rezeki. Akhir kata, Minggu menjadi hari yang sangat aku tunggu-tunggu dalam Minggu ini.

Di hari yang lain, tiba-tiba dapat chat dari Restu, “Helka, hari Minggu ini tanggal 23 Februari, ada acara maulid di rumah. Datang yaa... mamak undang soalnya...”

Kali ini senang bercampur pedih. Senang karena warga Kampung Blang masih mengingat kami yang anak KKN paling keren gitu loh. Pedih, karena dapat undangan maulid di tiga tempat yang berbeda di hari yang sama. Khalian nG3rt1 gaX sHeeh g3M4na p3ras4an Akoooohhh?

Aku harus memanage waktu sebaik-baiknya agar ketiga-tiga tempat itu bisa kukunjungi. Aku harus bisa menahan diri untuk makan seadanya saja. Minum juga seadanya. Karena tiga tempat mamen, tiga tempat. Kebayang gak sih? Alah, baru tiga tempat aja pun heboh. Man palak? Aku aku, kamu ya kamu.

Lanjut. Dah hari Minggu ni ceritanya. Pertama kali, aku memutuskan untuk langsung menuju Kampung Blang, Kecamatan Blang Bintang. Sebuah perkampungan yang bersebelahan dengan Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, Indonesia, Asia Tenggara. Perfek. Disinilah kami beberapa bulan lalu menjalani aktivitas sebagai anak KKNK Unsyiah-UIN SUSKA yang paling keren.

Perkampungan ini nuansa keagamaannya masih kental sekali, meskipun tidak ada pesantren di gampong. Apalagi tradisinya, jangan tanya. Kalau mau tanya, langsung aja ke rumah pak geuchiek. Rumahnya bersebelahan dengan rumah tetangganya kok. *kedip-kedip kelilipan

Hmm, ternyata Amri telah duluan sampai di Kampung Blang bersama sepupunya. Fedi dia punya nama. Kami memutuskan untuk mangkal di rumah Kak Rita dulu sembari menunggu Shinta dan Fira yang otw dari tadi tapi gak sampai2 juga ke TKP. Huft. Nasyiiib, nasyib. Menunggu telah menjadi santapan setiap ada acara kumpul-kumpul. Kebetulan tiga orang personil kami yang lainnya berhalangan hadir. Teguh dan Kemal ada kesibukan lain. Nah, Vivi orang Riau yang KKN di Aceh. Agak tidak mungkin baginya untuk hadir. Tapi tidak mengurangi nikmtanya momen ini.

Kami disambut hangat oleh maknya kak Rita. Kami pun berbincang-bincang hangat sembari mengulang masa lalu yang indah. Masa-masa indah KKN bersama mereka. Amri dan Fedi yang tidak mengerti bahasa Aceh hanya bisa senyum-senyum sok akrab. Akhirnya, aku yang mendominasi pembicaraan. Yee yee yee, saya pengusaha disini ya!!

Untuk mengurangi kebosanan menunggu, kami pun menelepon Vivi. Tepatnya sih, tadinya cuma miscall, barulah kemudian Vivi yang telepon. Wkwkwkwk.

Jam setengah dua-an muncul lah Sinta dan Fira dari balik tirai. Aku yang berbusana ala mak-mak pun angkat bicara, “alahai dek nong, pah trep bit.”

Kami pun langsung menuju rumah ibu War. Aku pucat, karena tamu yang datang ternyata sangat ramai. Apa gak, kami datangnya udah jam setengah dua. Aku harus berani. Aku pun berjalan di belakang Fira, saking beraninya.

Kami melewati sekelompok orang-orang yang sedang asik makan nasi molod. Ibu War beserta suami, Kak Deni, Bang Diki (adik Kak Deni), Dipa (adik Bang Diki), dan Ilham (anak Kak Deni) menyambut kami dengan sangat hangat. Penjelasannya detail sekali ya, maklum, lama tinggal di Jepang. Oh, oh.

Seperti biasa, tuan rumah langsung meminta para tamu untuk mencicipi masakan yang tersedia. Kami ecek-eceknya malu gitu. Jadi tunggu dulu beberapa menit, duduk-duduk dulu, dah gitu baru libas. Ciri khas aneuk dara, jaim-jaim gituh. Phaam ta peuduek.

Masakannya lezat sekali pemirsa. Rasanya aku ingin melibas semua. Tapi.. tapi.. gimana nasib masakan di dua tempat yang lainnya. Aku pun mengurungkan niat. Selesai makan nasi aku mencoba makan serabi yang tersedia. Ternyata aku tidak cukup mampu menahan pandangan. Huft. Serabi terlihat begitu mempesona dan menggoda. Hiks,, *menyesal ala anak kost.

Udah ngemeng-ngemeng sedikit sama Sinta dan Fira, kami kekenyangan. Kami pun duduk sebentar sembari menunggu turun nasi ke dalam perut. Gimana prosesnya, jangan tanya saya bisa? Saya taunya cuma makan aja, udah. Amri dan Fedi gimana? Aku gak tau, karena mereka tidak duduk bersama kami saat makan.

Kami memutuskan untuk duduk di dekat pintu. Duduk disini membuat kami  bebas clingak clinguk melihat keluar rumah. Terlihat banyak sekali mobil yang berjejeran di jalan. Memang, jalannya bisa dikatakan cenderung sempit untuk ukuran dua mobil, apalagi jika ada mobil yang berselisih paham. Repot deh, repot.

Sambil berdiri di depan pintu, mata kami tertuju pada satu mobil yang memarkirkan mobilnya tepat di tengah jalan. Dan ada satu mobil dari arah berlawanan yang ingin lewat. Asal kalian tau ya, tepat di belakang mobil yang ingin lewat itu, ternyata ada dua mobil lagi yang ingin lewat. Bhahahhaha.. kami tertawa menyaksikan adegan itu. Betapa baiknya kan kami. Ck ck ck.  Astaghfirullah.

Karena ada mobil yang cari masalah tadi, terpaksa seorang ibu turun dari mobil dan bertanya kepada kami mobil siapa itu.

“Meneketehe Buk”, jawab kami. Eh gak, kami tidak sekurang ajar itu kok, tapi lebih dari itu. *eh

“Wah, kurang tau juga kami, Buk”, jawab kami dengan polos yang dipaksakan.

Lalu Ibu itu pun bertanya pada ibu-ibu lain yang kebetulan lewat. Kami pun masuk kembali ke dalam rumah dengan wajah polos tidak berdosa anak bayi. Niatnya pamit pulang dengan Ibu War. SMP. Siap Makan Pulang. Itulah kami yang apa adanya, polos, dan rajin menabung di warung.

Ibu War menahan kami agar tidak pulang dulu. Tapi kami tidak mau kalah. Anak muda yang begitu bersemangat, kekeh mau pulang (padahal takut disuruh cuci piring, wkwkwk). Alasannya apa? masih ada kenduri maulid tempat lain. Sip. Kami berhasil lolos. Akting kami cukup meyakinkan. Kami gitu loh. Pamit sana pamit sini, sampailah detik-detik terakhir ketika pamitan dengan Ibu War.

“Si Helka ini anak kost kan, tunggu sebentar, bawa pulang sedikit lauknya ya. Tunggu sebentar Ibu siapkan.”

“Eh, gak usah, Buk”, jawabku malu-malu, padahal dalam hati maksudnya, gak usah ragu-ragu lagi, Buk. *lagi-lagi senyum bandit

Ibu War mengabaikan ucapanku dan bergegas memberesi lauk untukku. Kali ini, diabaikan ternyata cukup menyenangkan. Coba kalau Ibu War mendengar ucapanku, kan aku udah gak bisa makan enak malamnya. Hahah. Bahkan saat aku menulis ini pun aku masih merasakan sisa-sisa nikmatnya masakan bu molod.

Hmm aku pun menerima bungkusan makanan dari Ibu War dengan malu-malu yang syubhat. Karena sebenarnya memang mau. Wkwkwkwk.

“Shinta dan Fira jangan sedih ya gak Ibu kasih. Karena cuma Helka yang anak kost. Kalian kan orang sini. Tiap hari bisa makan enak”, demikian penjelasan Bu War pada Shinta dan Fira sebelum kami akhirnya menuju parkiran.

Aseeekkk. Dapat makan enak, gratis pula. Besok-besok datang lagi ah. Pulang dari sana, kami menuju rumah Restu, kakaknya Maghfirah, anak didik kami yang mendapatkan juara 2 untuk hafalan surat pendek dan juara 2 lomba pidato. Kedua-duanya merupakan perlombaan tingkat kecamatan yang anak KKN di daerah Blang Bintang adakan bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Blang Bintang sendiri. Pun, ide ini dicetuskan oleh Himpunan tersebut.

Sampai di rumah ini, waktu telah menunjukkan angka tiga kurang seperempat. Kami disambut tidak kalah hangatnya dengan di rumah Ibu War. Kami dipersilahkan masuk dan mencicipi masakan yang telah dihidangkan. Karena masih kekenyangan, aku hanya makan serabi saja. Aih, lagi-lagi aku memilih serabi. Ntah kenapa. Tambah adee satu sama satu gelas es rujak. Hahah.

Ngemeng sana ngemeng sini. Basa basi sedikit dengan Maghfirah yang tahun ini mendapatkan juara 3 MTQ tingkat kecamatan. Luar biasa. Kreuh that adek nyoe. Gak bisa sepele anggap. Meulungkop nanti. Tahun ini dia ingin melanjutkan pendidikan ke Darul Ulum. Semoga berhasil. Aamiin.

Dah kenyang, kami pun melancarkan aksi untuk SMP lagi. Siap pamit-pamit, senyum-senyum sebentar sama orang kampung, kami pun pamit sama mamaknya Maghfirah. Tertahan lagi. Adoooh. (Plis deh, mentang-mentang saya anak kost, gak usah nawarin masakan lagi bisa, Buk?, batinku).

“Itu no hapenya jangan diganti-ganti ya. Biar mudah nanti dihubunginya. Kalau ada acara-acara lagi kan gampang. Biar sering main-main kesini lagi”, maknya Maqfirah bersulut-sulut berbicara di tengah tamu undangan.

Kiak kiak kiak. Kirain mau dikasih masakan lagi. Ternyata cuma bilang itu. hahaha. Aku kegeeran. Hyaakk,, malu. Salah tingkah. *cari pisau, kupas mangga

“oh iya, Bu, iya, Insya Allah”, jawabku terbata-bata karena masih salah tingkah.

Kami pun menuju parkiran sambil berbincang-bincang sedikit dengan ayahnya Maghfirah yang asli Bireuen. Ah, orang Bireuen jumpa orang Bireuen, keren gak tu. Yang lain sangak aja yaa, karena cuma aku yang dari Bireuen. Hihihi. 

Pukul 15.10 kami pulang ke rumah masing-masing. Eh bukan, aku masih ada hutang satu tempat lagi. Tempat Novia. Yihaaa. Ini yang terakhir. Aku pasti bisa melewati cobaan ini.

Setengah empat-an aku tiba di rumah Novia yang berlokasi di daerah Tungkop. Ragu-ragu untuk masuk karena waktunya bukan lagi waktu makan siang. Hm, tapi kan udah sampai, rugi donk kalau pulang gitu aja. Gak keren kan jadinya. Aku merogoh hape dalam saku celana dan menelepon Novia. Alhamdulillah langsung diangkat.

“Assalamu’alaikum.. Novia dimana? Masih boleh masuk gak?”

“Wa’alaikum salam, boleh lah, ni lagi di rumah. Helka dimana?”

“Tepat di bawah pohon besar di depan rumah Novia.”

“Tunggu disana ya. Kami kesitu.”

Asiiiikkk dijemput. Padahal berani kok masuk sendiri. Malah dijemput segala. Haha (padahal ntah siapa tadi yang maksa-maksa dijemput, gak berani masuk, takut jumpa orang banyak). Ya Allah.

Disini juga makan nasi dan serabi lagi. Wkwkwkwk. Perut apa ini yak. Hom hom. Bek tanyong bak long. Padahal pulot ada juga. Tapi aku hanya memilih serabi, tidak mau yang lain. Buat anak kok coba-coba? Loh loh,,

Banyak banget makanannya. Berbicara tentang serabi, aku penasaran dengan masakan ini, karena di ketiga-tiga tempat maulid yang aku datangi selalu menghidangkan serabi dan pulot.

“Apa serabi dan pulot memang masakan khas orang Aceh Besar ya, Novia?”

“Gak ah, mungkin karena enak aja buatnya”

Gubrak. Gitu aja? Kirain ada penjelasan lain gitu yang lebih bisa aku terima. Novia pun semacam tidak melihat ketidakpuasanku akan jawabannya. Huft. Paayah.

Lumayan lama aku berdiam diri di tempat yang terakhir, berhubung tidak ada kegiatan lain setelah ini. Rumahnya juga adem ayem. Kami duduk di bawah pohon besar tepat di halaman rumahnya. Lama sekali tidak santai-santai seperti ini. Jadinya, aku tidak mau kehilangan momen ini begitu saja.

Pukul lima sore, aku pamit pulang. Karena aku merasa ngantuk. Memanglah ya, dah kenyang, bawaannya ngantuk. Paraah. Padahal modus. Takut lama-lama disitu malah disuruh cuci piring. Khak.



0 komentar:

Posting Komentar